Archive for December 2011
So Don’t Quit !
Posted December 26, 2011
on:“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”.(Yesaya 40:31).
Di dalam kehidupan ini, Tuhan telah menyediakan begitu banyak kesempatan yang dapat kita pergunakan. Ada beberapa orang yang menganggap remeh tindakan yang harus diambil dan juga usaha yang harus dibayar, namun pada akhirnya menyesal karena tidak melakukannya. Hanya sedikit orang yang mempunyai keyakinan dan iman sambil terus bekerja sampai ia mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik. Kehidupan yang selama ini ia impikan.
Winston Churchill, perdana menteri Inggris yang sangat dikenal, pernah tinggal kelas pada saat kelas enam sekolah dasar. Steven Spielberg dikeluarkan dari sekolah menengah atas dan tidak pernah kembali ke bangku sekolah. Bahkan sempat ditawarkan masuk sekolah luar biasa. Albert Einstein mendapatkan angka-angka yang jelek pada waktu bersekolah sampai-sampai gurunya meminta dia untuk berhenti sekolah karena dinilai tidak akan berhasil. Tokoh-tokoh besar tersebut mempunyai catatan yang mungkin lebih buruk daripada kita, namun kegagalan itu membuat mereka bangkit dan berhasil, karena karakter mereka yang pantang berhenti.
Seringkali komitmen terhadap sukses yang ingin diraih diuji oleh tantangan kehidupan. Sikap pantang menyerah adalah salah satu yang jelas membedakan antara sang juara dan sang pecundang. Kegagalan sering kali menghantui, sehingga kita tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Tapi percayalah, apa pun hasilnya pasti lebih baik dibandingkan jika kita menyerah. So, don’t quit!
Seorang juara adalah ketika ia mau bangkit dari setiap kegagalannya.
http://renungan-harian-kita.blogspot.com/
Jumat, 09 Desember 2011
Kecintaan Pada Keluarga
Posted December 25, 2011
on:Kecintaan kepada keluarga atau yang lebih spesifik kepada pasangan hidup bisa atau biasanya diawali dengan masa perkawanan dan kemudian meningkat pada masa pacaran, selanjutnya dua insan tersebut memasuki kehidupan berumah tangga. Harapan setiap orang yang terlibat di dalamnya adalah supaya keduanya termasuk anak-anak mereka tetap saling setia dalam ikatan keluarga tersebut. Ketentuan yang berlaku di beberapa sekolah tinggi Theologia adalah bahwa setiap mahasiswa hanya diijinkan berpacaran dengan sesama mahasiswa dalam kampus yang sama sebanyak satu kali. Putus sambung pacaran tetap diijinkan selama ia berpacaran dengan mahasiswa yang sama. Hal ini salah satunya dimaksudkan untuk mendorong mereka untuk lebih bersungguh dalam menilai urusan pasangan hidup.
Sepasang suami istri datang ke sebuah sumur keramat untuk meminta berkah dalam hidupnya. Pertama, sang suami melemparkan bunga tujuh rupa ke dalam sumur tersebut sambil komat-kamit membacakan doa dan keinginannya. Beberapa waktu kemudian giliran istrinya untuk melakukan seperti apa yang telah dilakukan sang suami, memanjatkan keinginan pada sumur keramat tersebut. Si istri begitu khusuk, menunduk begitu dalam sehingga ketika suaminya memegang pantatnya si istri justru jatuh ke dalam sumur dan mati tenggelam. “Wow, terkabul! Benar-benar sumur keramat,” kata si suami spontan. http://www.kapanlagi.com/a/sumur-keramat.html)
Rupanya kisah di atas membuktikan betapa mahal dan langkanya untuk menemukan kecintaan kepada keluarga. Banyak orang yang mengalami kesulitan besar dalam memelihara kesetiaan. Diyakini bahwa kesulitan besar untuk menjadi setia menimbulkan kesulitan bagi orang lain yang seharusnya pantas dan layak mendapat kesetiaan dari mereka yang tidak setia.Intinya, ketidaksetiaan itu menimbulkan korban.
Memang tidak mudah menemukan pribadi yang setia. Bahkan sering kali orang mengutarakan keluhannya atas mutu kesetiaan sahabatnya. Mereka tidak gampang menerima keadaan saat mengetahui bahwa orang-orang dekat yang mereka kasihi justru menjadi orang yang mereka simpulkan sebagai orang yang telah mengkhianatinya. Itulah mengapa pemazmur sangat memberi perhatian dan keprihatinan tentang arti penting keberadaan orang yang dia sebut sebagai seorang sahabat. Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. (Maz. 17:17). Tentu saja pemazmur merasa bahwa kehadiran sahabat sangat ia butuhkan di saat orang-orang dekatnya tidak peduli kepada keresahan hatinya.
Kembali kepada hal kesetiaan atas keluarga, kesetiaan bertipe ini juga disimpulkan sebagai sedang memudar. Semakin banyaknya peristiwa ketidaksetiaan juga sudah membuahkan diterbitkan banyak aturan formal (undang-undang) yag mengurusi urusan yang sebenarnya menjadi urusan internal rumah tangga seseorang.
Dalam Alkitab kita bisa menemukan salah satu tokoh yang pantas diteladani. Dia adalah Yosua. Dia tidak hanya memiliki mutu kesetiaan yang tinggi dan dalam kepada bangsanya tapi juga pada keluarganya. Komitmennya dapat kita baca di ayat ini : Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15).
Ucapan itu selain merupakan tantangan Yosua kepada bangsanya, yakni tantangan supaya mereka tetap setia kepada Tuhan, juga menggambarkan ketegasan Yosua dalam memutuskan sesuatu untuk kebaikan keluarganya. Ia setia kepada keluarganya oleh karena itu ia berprakarsa dan melakukan yang terbaik untuk keselamatan keluarganya dengan membawa keluarga tersebut pada kehidupan yang disertai hadirat Tuhan. Bisa kita bayangkan bahwa kalau itu merupakan tantangan kepada bangsanya, tentu saja erat dengan keadaan saat itu dimana makin banyak orang, tetangga, kerabat, rekan kerjanya yang secara tidak sadar menjauh dari Tuhan sehingga sangat dimunkinkan berakibat buruk kepada keluarga mereka. Hal itu yang dilihat Yosua dalam pengalaman hidupnya di tengah bangsanya yang sering plin-plan kepada Tuhan. Yosua menyadari bahwa tak seorangpun termasuk tak satu keluargapun akan luput dari hukuman Tuhan jika mereka tak bosan-bosannya mengabaikan Tuhan.
Akhirnya, tantangan Yosua kepada bangsanya untuk memutuskan sesuatu, juga mestinya menjadi tantangan bagi kita untuk berprakarsa dan mewujudkan kesetiaan dan kecintaan kepada keluarga kita. Moga kita senantiasa dimampukan olehNya dalam megupayakan kebaikan bagi keluarga kita, yakni kebaikan yang dikenanNya. Amin. God bless you and beloved family.
(Soerjan – Berita Mimbar Magazine)
- Kata Simon Petrus kepada mereka: “Aku pergi menangkap ikan.” Kata mereka kepadanya: “Kami pergi juga dengan engkau.” Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa. (Yoh. 21:3).
Adalah keharusan bagi setiap orang, siapapun dia, untuk berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan sesamanya. Dalam interaksi tersebut terjadilah situasi saling mempengaruhi. Simon Petrus berkata: “Aku pergi menangkap ikan.” Mereka menjawab: “Kami pergi juga dengan engkau.” Para murid ini berada dalam situasi yang sama, senasib sepenanggungan. Paska kematian Yesus, hidup mereka dicekam ketakutan luar biasa. Mereka masih trauma dengan kekejaman orang Yahudi dan tentara Romawi. Para murid juga tahu bahwa ketika menginterogasi Yesus, Imam Besar bertanya kepada Yesus tentang ajaran-Nya dan murid-murid-Nya.
Orang-orang awam sipilpun mencurigai Petrus. Keluarga dari Maltus yang dipotong telinganya oleh petrus juga mencurigai Petrus. Itulah suasana ketakutan luar biasa. Itulah suasana dan situasi dimana Yesus tidak ada di tengah-tengah mereka. Demikian juga, mereka tereliminasi secara sosial. Mereka dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Mereka takut kepada orang banyak.
Sepeninggalan Yesus, para murid itu kalang-kabut bagaikan anak ayam kehilangan induk. Tidak ada lagi panutan, tidak ada lagi figur yang bisa mereka jadikan tempat memperoleh kekuatan.
Lebih celaka lagi, tanpa hadirat Kristus mereka dibutakan secara rohani. Karena kebutaan rohani, Simon Petrus berinisiatif untuk menangkap ikan. Demikian pula, para koleganya terpengaruh dengan apa yang akan dilakukan Simon Petrus, menjala ikan. Sebelumnya, begitu turun gunung, Yesus menjumpai murid-murid pertama dan menetapkan mereka menjadi pejala manusia, beralih dari profesi menjala ikan. Seolah-olah mereka melupakan hal itu. Rancangan Yesus adalah bahwa mereka harus beralih profesi dari menjala ikan menjadi menjala manusia. Kalaupun mereka kembali kepada profesi yang lama, itu pasti ada hal-hal yang tidak semestinya. Hal itu pasti disebabkan tidak adanya keterlibatan Yesus di tengah-tengah mereka. Memang ayat ini tidak boleh diartikan bahwa semua penjala ikan itu tidak baik atau sebaliknya penjala manusia itu mesti baik. Yang perlu ditekankan di sini adalah pesan yang mengatakan bahwa setiap orang harus ingat dan sadar akan panggilan Allah, yakni melayani.
Demikianlah yang akan terjadi jika kita tidak mengundang Yesus ke dalam persekutuan kita. Tanpa adanya Yesus di tengah-tengah persekutuan kita maka ada kemungkinan kita memberi pengaruh yang tidak semestinya kepada orang lain atau sebaliknya menerima pengaruh yang tak semestinya dari orang lain.
–Soerjan – Berita Mimbar
Memberdayakan Hati & Pikiran
Posted December 20, 2011
on:Memberdayakan Hati & Pikiran
Ketika mereka di tengah jalan, datanglah beberapa orang dari penjaga itu ke kota dan memberitahukan segala yang terjadi itu kepada imam-imam kepala. Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: “Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur. Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa.” Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan ceritera ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang ini.( Mat. 28:11-15)
Adanya kumpulan orang memungkinkan terjadinya dua bentuk hubungan yakni konflik atau kesepakatan. Lebih jauh lagi, dua kemungkinan dalam kesepakatan yakni adalah kesepakatan untuk tujuan yang baik dan sebaliknya untuk tujuan jahat, persekongkolan, konspirasi, atau plot.
Biasanya, motif yang melandasi persekongkolan adalah ambisi untuk menjatuhkan atau merugikan pihak lain sekaligus menguntungkan diri sendiri. Demi sekedar menyelamatkan muka, demi mempertahankan pamor, maka tidak tanggung-tanggung para imam kepala dan tua-tua serta sedadu membuat persekongkolan yang berdampak amat dahsyat yakni mencemarkan keilahian Kristus sekaligus menyesatkan banyak orang hingga masa kini (tidak hanya di saat ditulisnya Injil Matius ini). Tidak mengherankan jika banyak orang di masa kini menyangsikan kebangkitan Kristus dari maut, karena para saksi itu justru membuat kesaksian dusta.
Sungguh tragis, sebelum disalib Yesuspun telah menjadi korban persekongkolan yang melibatkan Yudas Iskariot, murid yang seharusnya mendukung Gurunya. Setelah Yesus disalib, persekongkolan masih berlanjut, dilakukan oleh pemimpin agama yang seharusnya memberi teladan yang baik. Persekongkolan juga melibatkan serdadu yang dilatih dan terlatih untuk membela kebenaran, bukan untuk menerima uang suap. Dengan demikian, siapapun orangnya akan mudah sekali untuk terbuai oleh keuntungan dari persekongkolan. Persekongkolan ialah cara yang relatif praktis (dan curang) untuk pencapaian tujuan.
Gagasan persekongkolan tercetus begitu saja tanpa memikirkan akibatnya. Dalam persekongkolan terjadi juga pemaksaan kehendak. Di ayat 13 Imam kepala berkata “Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur“. Konspirator jarang memikirkan akibat dari persekongkolan yang mereka buat karena sejak awal mereka tidak menghormati moralitas. Yang menjadi fokus pelaku persekongkolan adalah bagaimana seefektif dan seefisien mungkin mencapai tujuan yang diharapkan, tanpa mempertimbangkan benar-tidaknya cara itu. Terbukti bahwa persekongkolan selalu memutarbalikkan fakta, mengaburkan kebenaran, serta mempraktikkan kebohongan.
Setiap orang percaya yang juga adalah bagian dari kelompok masyarakat hendaknya waspada dan berhati-hati saat memasuki lapangan sosial yang menghubungkan diri-sendiri dengan orang-orang di sekitar. Tanpa kita sadari dan tanpa kita sengaja, baik secara langsung atau tidak, lingkungan kita sering mempengaruhi kita untuk masuk kedalam sistem persekongkolan yang merugikan pihak lain. Konspirasi, persekongkolan, kongkalikong cenderung sudah menjadi bentuk hubungan yang wajar dalam lingkungan sosial.
Penting sekali bagi setiap orang percaya untuk sadar dan terjaga saat ia berada dalam kumpulan orang banyak. Jika ia berada dalam kumpulan orang percaya, maka hal itu tidak mengkhawatirkan, karena kumpulan orang percaya adalah kumpulan yang dilandasi oleh kehadiran Kristus di tengah-tengah mereka (Mat. 18:20). Sebaliknya, kumpulan plural adalah kumpulan yang memiliki lebih besar pengaruh bagi anggota di dalamnya. Sangat disayangkan jika orang percaya justru terpengaruh oleh faktor eksternal. Sudah seharusnya, faktor internal dalam diri orang percaya diberdayakan untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh eksternal yang berusaha menaklukkan faktor internal orang percaya.
Soerjan – BM 256